Israel kayaknya nggak mau berhenti main api sama Iran. Di tengah situasi dunia yang makin panas, wakil Israel di Dewan Keamanan PBB, Danny Danon, dengan santai tapi tajam bilang: “Kami nggak akan stop sampai nuklir Iran dilucuti.” Pernyataan ini jelas bukan cuma gertakan. Sejak pertengahan Juni, serangan udara Israel ke Iran udah berlangsung terus-menerus, bukan cuma nyasar situs militer tapi juga fasilitas nuklir dan ilmuwan di baliknya.
Nggak sedikit yang ngira awalnya ini cuma aksi balasan cepat. Tapi sekarang? Kayak udah masuk babak baru—perang skala penuh yang bisa jadi nggak bakal selesai dalam hitungan minggu. Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, sendiri ngakuin ini bukan konflik instan. Mereka siap buat konflik panjang, bahkan kalau harus nyebar ke kawasan lain.
Iran sendiri nggak diem. Mereka udah memperingatkan bakal balas lebih keras, dan dunia makin tegang ngeliat dua negara ini bisa aja nyeret kawasan Timur Tengah, bahkan dunia, ke jurang perang terbuka. Amerika Serikat, yang biasanya langsung turun tangan, kali ini terlihat nahan diri. Biden dan timnya kayak masih bingung: dukung Israel terus atau mulai rem.
Yang bikin tambah serem, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) udah kasih warning keras. Mereka khawatir ada reaktor nuklir sipil yang kena serangan. Kalau itu kejadian, dampaknya bisa lebih gila dari sekadar perang: bisa jadi bencana radiasi kayak Chernobyl versi Timur Tengah.
Tapi meskipun dunia teriak-teriak minta damai, Israel tetap ngegas. Mereka seolah percaya satu-satunya jalan aman adalah melenyapkan kemampuan nuklir Iran sepenuhnya. Nggak peduli apa kata PBB, G7, atau Sekjen PBB António Guterres yang udah bilang, “Give peace a chance.” Buat Israel, ini bukan soal politik atau diplomasi—ini soal eksistensi.
Pertanyaannya sekarang: sampai kapan dunia cuma nonton? Apa kita semua nunggu sampai ledakan nuklir beneran jadi kenyataan baru nyadar ini udah kebablasan? Atau ini semua cuma bagian dari drama geopolitik yang tiap hari ditayangin ke kita—tapi ujungnya cuma bikin generasi muda kehilangan masa depan di tengah konflik yang nggak pernah kita pilih?