GAMBARAN BARU ISRAEL: NETANYAHU MAIN GEDE-GEDEAN, HERZOG NGEDUMEL DARI SAMPING
Di tengah panasnya isu Gaza, konflik Iran, dan dunia yang makin nggak sabaran ngeliat siapa sebenarnya yang ngontrol Israel, ada dua tokoh sentral yang justru makin nunjukin kontrasnya: Benjamin Netanyahu dan Isaac Herzog. Yang satu main gebuk dan ngegas di panggung dunia, yang satu lagi bisik-bisik ngajak damai sambil ngelirik kiblat demokrasi yang makin kabur di negaranya sendiri.
Netanyahu, sang Perdana Menteri, udah kayak raja tanpa mahkota. Operasi militer di Gaza? Jalan. Gempur fasilitas nuklir Iran bareng Amerika? Jalan. Aneksasi Tepi Barat? Lagi nyari momen pas. Reformasi hukum biar pengadilan bisa dikontrol? Udah lama dimasukin daftar agenda. Nggak tanggung-tanggung, dia udah kayak ngegas mobil sport tanpa rem, ngandelin aliansi politik ultranasionalis dan bekal restu dari sobat lamanya: Donald Trump. Rencananya jelas: Israel jadi negara Yahudi seutuhnya, berdaulat penuh atas semua wilayah yang dia anggap milik leluhurnya — tanpa kompromi.
Di sisi lain, Isaac Herzog, sang Presiden yang posisinya cuma simbolis, justru makin keras nyuarain pentingnya “nilai-nilai demokrasi.” Tapi sayangnya, suaranya cuma jadi background noise di tengah ledakan roket dan langkah-langkah eksekutif yang penuh strategi militer. Herzog terbang ke mana-mana, manggung di forum-forum elit dunia, kayak di Davos atau forum diaspora Yahudi global, ngomong soal pentingnya solidaritas, kemanusiaan, dan perdamaian. Tapi pertanyaannya: siapa yang denger?
Yang bikin panas, Herzog belakangan mulai buka suara soal solusi dua negara yang katanya dulu dia bela mati-matian. Tapi tragedi 7 Oktober bikin dia mikir ulang, dan sekarang dia malah ngasih sinyal keras ke dunia Arab: “Kasih bukti dulu kalo kalian bisa damai tanpa kekerasan.” Di satu sisi, Herzog mau tampil bijak dan dewasa. Di sisi lain, ucapannya malah makin ngilangin harapan buat jalan tengah.
Netanyahu udah punya blueprint masa depan: Gaza jadi wilayah tanpa Hamas dan tanpa Palestina, dikembangin jadi kawasan industri, turisme, dan energi terbarukan yang dikontrol Israel dan mitra Arab tertentu. Iran? Harus dilumpuhkan, titik. Yerusalem? Harus 100% milik Israel. Dan semua itu bukan wacana — itu udah dimulai, dengan serangan militer, proyek infrastruktur raksasa, dan manuver politik internasional yang kenceng.
Sementara itu, rakyat Israel makin kebelah dua. Ada yang setuju sama Netanyahu, bilang ini saatnya jadi bangsa besar tanpa ragu. Tapi banyak juga yang takut negaranya berubah jadi kediktatoran gaya baru. Protes demi protes soal reformasi hukum belum mati, tapi juga belum bikin Netanyahu goyah.
Israel hari ini ibarat mobil yang dikemudiin dua orang: satu ngebut ke jurang karena yakin itu jalan ke surga, satu lagi megang peta moral tapi nggak duduk di jok sopir. Dunia bisa cuma nonton sambil harap-harap cemas. Tapi kalau keduanya terus jalan masing-masing, pertanyaannya bukan lagi siapa yang menang — tapi seberapa keras benturannya nanti.
Kalau lo pikir konflik Israel-Palestina, atau ketegangan dengan Iran bakal adem, lo salah. Ini baru awal. Dan Israel sedang membentuk wajah barunya — antara ambisi militer dan bayang-bayang demokrasi yang makin kabur.