Isu soal “ijazah Jokowi palsu dibuat di Pramuka tahun 2012” sebenarnya bukan cuma soal dokumen, tapi lebih ke permainan persepsi publik. Narasi ini dimulai dari seorang mantan elite partai yang kecewa, lalu dilempar ke publik tanpa bukti yang bisa dipegang. Nggak ada saksi kuat, nggak ada dokumen pendukung, dan yang lebih penting: sudah ada klarifikasi resmi dari UGM, dan hasil forensik Polri yang menyatakan ijazah Jokowi asli, dicetak tahun 1985 sesuai prosedur kampus.

Yang bikin isu ini panas bukan karena buktinya kuat, tapi karena dibungkus narasi konspirasi yang cocok buat viral. Aktor-aktor pendukungnya juga saling back-up: ada yang pakai gaya ilmiah tapi datanya ngawur, ada yang pakai bahasa filsafat biar kelihatan intelek, padahal substansinya nol. Di belakang layar, akun-akun media sosial terus muter-muterin narasi biar publik makin bingung dan gampang termakan isu.

Dari kacamata intelijen, ini mirip skenario disinformasi tingkat domestik. Nggak kelihatan ekstrem, tapi efeknya bisa lama: publik ragu sama institusi pendidikan, aparat, bahkan kepala negaranya sendiri. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi senjata politik yang dipakai di tahun-tahun krusial jelang pemilu.

Faktanya, kesaksian-kesaksian yang dilontarkan ke publik bisa berujung pidana kalau terbukti bohong. Negara udah punya dasar hukum buat itu. Tapi yang paling penting: publik jangan cuma kritis, tapi juga cerdas. Jangan mudah percaya cuma karena narasinya viral dan disampaikan dengan gaya meyakinkan. Kebenaran itu bukan soal siapa yang paling lantang, tapi siapa yang bawa bukti paling kuat.

Jadi kalau ada yang bilang “ijazah Jokowi palsu,” pertanyaannya cuma satu: mana buktinya, bro?

Popular posts from this blog