Jokowi itu baik. Kita tahu itu. Kita lihat sendiri. Dia bukan bangsawan politik. Bukan anak keturunan penguasa. Bukan elite yang tumbuh dari partai tua penuh intrik. Dia datang dari Solo, dengan tangan tukang dan gaya membumi. Dia bicara pelan, kadang terlalu sederhana, tapi justru itu yang bikin dia beda. Di tengah para politisi yang banyak gaya dan banyak akal, Jokowi datang dengan kesan tulus. Dan rakyat jatuh hati.

Tapi persoalannya bukan di Jokowi. Persoalannya ada di bayangan yang berdiri di belakangnya. Di orang-orang yang dulu datang merunduk, sekarang berdiri pongah atas nama “kedekatan”. Orang-orang yang mencatut nama Jokowi untuk melancarkan ambisi pribadi. Mereka bilang mereka loyalis, tapi kita tahu mereka penumpang. Mereka yang haus kuasa, yang pakai wajah Jokowi sebagai kedok moral untuk proyek dinasti, konsolidasi, bahkan kooptasi total.

Rakyat diminta percaya, tapi akal sehat kita disuruh mati. Rakyat diminta bersyukur, tapi suara kritis dituduh merusak. Mereka bilang kita gak paham politik. Padahal kita cuma gak mau dibodohi. Ini bukan soal benci Jokowi. Ini soal siapa yang menjadikannya tameng. Soal siapa yang nyetir di balik setir. Soal siapa yang lagi pasang fondasi kekuasaan yang gak mau berhenti, bahkan setelah masa jabatan resmi berakhir.

Jokowi tetap baik. Tapi diamnya hari ini bukan kebaikan. Saat suara-suara penolakan dibungkam, saat aparat jadi tameng politik, saat Mahkamah bukan lagi tempat mencari keadilan, tapi alat stempel bagi kehendak istana—di mana Jokowi berdiri? Di mana suara yang dulu dekat dengan rakyat kecil itu? Kenapa hari ini yang terdengar justru gema para pembisik istana?

Anak muda gak bisa lagi sekadar bangga karena presidennya sederhana. Gak cukup. Karena kesederhanaan tanpa keberanian akan jadi alat legitimasi bagi kerakusan. Karena diam dalam kekuasaan bisa berarti setuju. Karena kalau kita terus diam, sejarah gak akan lagi mencatat Jokowi sebagai pemimpin rakyat, tapi hanya sebagai jalan tol bagi ambisi segelintir nama.

Kami tumbuh dalam era internet, dalam banjir informasi, dan kami gak gampang dibeli dengan pencitraan. Kami bukan anti Jokowi. Kami cuma jijik pada bayang-bayang yang memanfaatkan namanya. Kami muak dengan dinasti, dengan arogansi yang mengatasnamakan rakyat padahal hanya demi satu keluarga, satu partai, satu kelompok kecil yang takut kehilangan kendali.

Jokowi itu baik. Tapi sejarah gak akan cuma menilai niat. Sejarah akan menilai keberanian. Dan hari ini, yang berdiri di belakang Jokowi sedang mengotori semua yang dulu membuatnya dicintai. Jika dia diam, dia bagian dari itu. Jika dia membiarkan, maka dia sedang merestui.

Dan kami, anak muda, tidak akan diam. Karena negeri ini bukan warisan keluarga siapa pun. Negeri ini bukan panggung pencitraan yang terus dipelihara dengan narasi-narasi murahan. Kami tak takut dibilang nyinyir, kami tak gentar disebut pembangkang. Karena yang lebih kami takutkan adalah menjadi generasi yang tahu tapi memilih diam.

Popular posts from this blog