Penduduk Amerika memiliki pandangan yang kompleks dan seringkali kontradiktif terhadap gagasan negaranya menyerang Iran. Di luar permukaan opini yang sering muncul di media sosial—yang biasanya dipenuhi polarisasi antara pro-perang dan anti-perang—terdapat lapisan pemikiran yang lebih mendalam yang jarang dibahas secara terbuka.
Banyak warga Amerika sebenarnya tidak memiliki pemahaman utuh tentang Iran. Sebagian besar hanya mengenalnya melalui narasi pemerintah atau film-film Hollywood yang menggambarkan Iran sebagai negara musuh. Namun, di kalangan akademisi, veteran militer, dan komunitas diaspora, ada keprihatinan yang lebih besar soal dampak jangka panjang jika Amerika benar-benar menyerang Iran. Kekhawatiran mereka bukan hanya tentang geopolitik, tetapi tentang luka psikologis yang diwariskan dari perang-perang sebelumnya, terutama Irak dan Afghanistan.
Ada sekelompok veteran muda yang diam-diam berbagi keresahan bahwa serangan ke Iran hanya akan mengulang lingkaran kegagalan yang sama. Mereka menyaksikan teman-teman mereka pulang dari perang dengan PTSD, cacat fisik, atau bahkan dalam peti mati, dan mereka mempertanyakan apa yang sebenarnya dicapai. Sebagian dari mereka mulai meragukan moralitas intervensi militer Amerika secara umum, tapi suara mereka jarang muncul karena tidak sekeras suara elite politik di Washington.
Di sisi lain, ada pula warga yang merasa terjebak dalam dilema. Mereka tidak menyukai Iran dan percaya bahwa rezimnya represif, tetapi mereka juga tidak percaya bahwa pemerintah mereka sendiri akan mengatakan yang sejujurnya kepada rakyat. Perasaan dikhianati setelah invasi Irak tahun 2003 masih kuat membekas. Banyak yang kini skeptis terhadap semua alasan perang—terutama jika alasan itu disampaikan melalui media besar atau tokoh politik yang selama ini terbukti menyembunyikan fakta.
Di komunitas Muslim Amerika dan komunitas keturunan Iran, perasaan takut lebih kuat. Mereka sering mengalami diskriminasi setiap kali ada ketegangan antara AS dan negara Muslim mana pun. Bagi mereka, perang bukan sekadar berita luar negeri—tetapi bisa berarti penangkapan tanpa alasan, pemantauan diam-diam oleh FBI, atau bahkan ancaman terhadap keluarga yang masih tinggal di Timur Tengah.
Ada pula kalangan bisnis dan elite ekonomi yang memandang potensi serangan sebagai peluang. Perusahaan-perusahaan kontraktor pertahanan seperti Raytheon atau Lockheed Martin selalu mencatat kenaikan saham saat ketegangan meningkat. Ini adalah kenyataan yang pahit dan hampir tak pernah dibahas di media sosial: bahwa ada pihak-pihak yang diam-diam berharap konflik terjadi karena akan memperkaya mereka. Perang menjadi komoditas. Di ruang-ruang rapat tertutup, angka-angka tentang perang dibicarakan seperti investasi.
Dan akhirnya, yang paling jarang dibicarakan adalah rasa lelah yang merata di kalangan generasi muda Amerika. Banyak dari mereka merasa kehilangan kepercayaan terhadap narasi patriotisme. Mereka tidak ingin menjadi generasi yang lagi-lagi harus menyaksikan perang diluncurkan atas nama kebebasan, padahal yang terjadi adalah kehancuran. Mereka menyadari bahwa perang selalu membawa dampak bagi warga sipil, dan bahwa dunia semakin terhubung—sehingga yang terbunuh di Teheran bisa saja memiliki mutual friend dengan seseorang di New York.
Di balik segala komentar pedas di internet, Amerika adalah negara yang juga dihuni oleh orang-orang yang sedang bergulat dengan rasa bersalah, dilema moral, dan ketakutan akan masa depan. Tapi karena suara mereka tidak cocok untuk headline, mereka jarang terdengar.