Israel di Persimpangan: Negosiasi Gencatan Senjata, Krisis Koalisi, dan Politik Identitas

Pemerintah Israel kembali berada di titik genting dalam pusaran politik dan tekanan internasional, menyusul langkah terbaru Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengirim delegasi ke Doha, Qatar, untuk membuka kembali jalur negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Namun, seperti biasa, diplomasi Israel tak pernah berjalan tanpa sandungan. Netanyahu dengan tegas menyebut tuntutan Hamas dalam perundingan sebagai "tidak dapat diterima," mengisyaratkan bahwa Tel Aviv tidak akan menyerah begitu saja, bahkan ketika tekanan dari sekutu Amerika Serikat kian menguat.

Sementara negosiasi berlangsung di belakang layar, koalisi pemerintahan Netanyahu diguncang dari dalam. Fraksi ultra-Ortodoks (Haredi) terus mendesak penolakan wajib militer bagi pemuda Yeshiva, di tengah tuntutan publik atas kesetaraan beban nasional. Perselisihan ini semakin memperkeruh ketegangan internal di tengah kondisi perang yang belum mereda di Gaza.

Tak hanya itu, pemerintah Israel juga kembali membangkitkan kontroversi lama dengan mengajukan RUU untuk mencabut “grandparent clause” dalam Undang-undang Kembalinya Orang Yahudi (Law of Return). Usulan yang diajukan oleh MK Avi Maoz dari partai sayap kanan Noam ini berpotensi mengubah lanskap demografi Yahudi secara drastis, karena menghapus hak keturunan Yahudi dari jalur nenek atau kakek. Langkah ini dinilai sebagai upaya ideologis untuk menyaring imigrasi hanya bagi Yahudi ‘murni’—dan menuai kritik tajam dari kelompok Yahudi diaspora.

Di sisi lain, sebuah survei dari Tel Aviv University mengungkapkan bahwa mayoritas warga Arab-Israel, sebesar 73,2%, mendukung partisipasi politik partai Arab dalam pemerintahan nasional. Fakta ini kontras dengan sikap elit politik Yahudi yang masih enggan memberikan ruang sejajar bagi minoritas Arab, mencerminkan jurang kepercayaan yang semakin menganga antara rakyat dan penguasa.

Israel hari ini berdiri di persimpangan sejarah: antara jalan kompromi demi stabilitas nasional, atau meneruskan politik eksklusivitas dan dominasi yang semakin mengisolasi mereka dari konsensus internasional. Dunia menyaksikan—dan waktu tak lagi berpihak pada politik penuh penyangkalan.