"Abolisi Tom Lembong: Jalan Sunyi Menyelamatkan Elite"



Tom Lembong bebas. Satu kata: abolisi. Dan satu pertanyaan menggantung: kenapa?

Publik nyaris tak sempat bernapas mencerna drama hukum Tom Lembong. Vonis 4,5 tahun penjara atas kasus impor gula belum dingin, tiba-tiba Keppres No. 18/2025 turun dari langit politik Istana. Presiden Prabowo mengeluarkan jurus sakti: abolisi. Bukan grasi. Bukan amnesti. Tapi penghentian total proses hukum. Bukan pemotongan hukuman, tapi pembebasan menyeluruh—seolah vonis tak pernah ada. Ajaib? Atau justru terlalu logis?

Inilah Indonesia. Di negeri ini, hukum bisa jadi panggung kompromi elite. Tom bukan penjahat kelas teri. Ia teknokrat Harvard, mantan Menteri, mantan Kepala BKPM, mantan kepercayaan Jokowi. Bukan figur sembarangan. Dan justru karena itu, penangkapannya membuat jantung politik dan ekonomi sempat terhenti. Siapa berani menjatuhkannya? Siapa sebenarnya ingin dia tumbang?

Tapi tak ada waktu untuk menyalahkan. Prabowo mengambil alih. Dengan abolisi, dia mengirimkan pesan: hukum tetap ditegakkan, tapi presiden tetap pengampun. Tidak ada pelanggaran konstitusi, semua legal, semua disetujui DPR. Tapi publik, seperti biasa, dipaksa menelan logika kekuasaan tanpa kuah keadilan.

Lalu, apa motif sebenarnya? Stabilitas elite pasca Pilpres? Pembukaan jalur ke Barat? Atau, lebih misterius: Tom tahu terlalu banyak. Tentang siapa yang bermain dalam mafia gula, siapa pemilik kuota sesungguhnya, siapa yang selama ini untung diam-diam. Dengan membebaskannya, istana tak hanya menyelamatkan satu nama, tapi mungkin—menyelamatkan banyak nama.

Tom kini bebas. Tapi publik terpenjara dalam pertanyaan yang tak terjawab. Apakah abolisi ini bentuk keadilan? Atau justru cara paling rapi untuk mengubur kebenaran?

Dan bila abolisi menjadi tradisi baru untuk menyelamatkan elite, tunggu saja. Mungkin yang berikutnya bukan Tom. Tapi yang jauh lebih besar.