Adu Domba Gaya Baru: Demo Rakyat Jadi Panggung Politik


Politik adu domba ala penjajah ternyata belum benar-benar mati di bumi Indonesia. Bedanya, kalau dulu Belanda memecah kerajaan Nusantara agar lemah, kini skenario itu muncul kembali lewat panggung demokrasi yang dipenuhi demonstrasi. Di jalanan, rakyat marah, teriak, menuntut. Namun di balik teriakan itu, sering ada kepentingan yang lebih besar—dan lebih kotor. Demo bukan lagi sekadar suara rakyat, tapi alat dagang politik.

Isu kenaikan harga, kebijakan pemerintah, hingga polemik hukum, semua bisa dipelintir jadi bahan bakar mobilisasi massa. Aktor-aktor politik bermain di belakang layar, menunggangi keresahan, menjadikan rakyat pion di papan catur kekuasaan. Mirip VOC yang dulu menjanjikan keuntungan pada satu pihak untuk melawan pihak lain, kini elite politik menjanjikan panggung dan kepentingan pada kelompok tertentu agar gaduh makin membesar.

Polarisasi pun terpelihara. Media sosial jadi senjata baru untuk mengaduk emosi. Fitnah, framing, dan narasi palsu bertebaran, membuat masyarakat terbelah. Rakyat saling curiga, saling hujat, padahal mereka semua korban skenario yang sama. Persatuan yang dulu menjadi senjata pamungkas hingga Indonesia merdeka, kini justru terkikis oleh kepentingan kelompok.

Sejarah berulang, hanya wajah pemainnya yang berganti. Pertanyaannya, apakah bangsa ini rela jatuh lagi dalam lubang yang sama?