Hutan lebat, lumpur rawa, dan aroma kematian yang menempel di udara. Itulah yang dihadapi tim pencari di Champawat, India, awal 1900-an, ketika teror terbesar dalam sejarah perburuan manusia berlangsung. Seekor harimau betina, yang kelak dijuluki “The Champawat Tiger”, mencatat rekor mengerikan: 436 nyawa manusia dihabisinya dalam kurun beberapa tahun. Bukan predator biasa—ini adalah mesin pembunuh yang beroperasi dengan presisi mematikan. Sumber militer Inggris kala itu mencatat, hewan ini melompat pagar desa, menyelinap di malam buta, dan menghilang dengan mayat di rahang sebelum warga sempat berteriak. Legenda Jim Corbett menutup babak berdarah itu dengan satu tembakan maut pada 1907.
Namun, Champawat hanyalah puncak gunung es. Di belantara bakau Sundarbans—perbatasan Bangladesh dan India—terdapat koloni harimau yang menjadikan manusia sebagai menu rutin. Laporan WWF menyebut, pada dekade 1980–2000, rata-rata 50 hingga 250 orang tewas setiap tahun di cakar raja bakau ini. Warga setempat terpaksa memakai topeng wajah di belakang kepala saat bekerja, berharap menipu predator yang selalu menyerang dari belakang. Ironisnya, trik ini tak selalu berhasil.
Nepal juga pernah dilanda mimpi buruk serupa. Tahun 2004, seekor harimau Chitwan menculik nyawa 13 orang hanya dalam tiga bulan. Hewan ini bukan sekadar menerkam di hutan, tapi masuk ke jantung desa, menyeret korban dari rumah-rumah dengan pintu terbuka. Kepanikan membuat warga tidur sambil menggenggam senjata tumpul—namun sang predator selalu satu langkah di depan.
Indonesia tak luput dari babak tragis ini. Riau, 2020—seorang pekerja sawit tewas digigit harimau Sumatera. Pembukaan hutan besar-besaran memaksa predator terakhir Pulau Sumatera itu mendekat ke kebun. Tim konservasi menemukan jejaknya mengitari lokasi selama berhari-hari, seolah menandai wilayah kekuasaannya di tengah ladang manusia.
Dan kisah paling dingin darah datang dari Timur Jauh Rusia, 1997. Seorang pemburu menembak harimau Siberia dan mencuri mangsanya. Balasannya brutal. Predator itu mengikuti jejak si pemburu, menghancurkan pondoknya, lalu menunggu berjam-jam di kegelapan hingga korban pulang—dan menghabisinya. Peneliti menyebutnya salah satu bukti nyata kemampuan predator besar menyimpan dendam.
Dari Champawat hingga Riau, satu pola sama mengemuka: ketika habitat dirusak, harimau terdesak, dan manusia menjadi target. Data terbaru menunjukkan populasi harimau liar dunia kini hanya sekitar 4.000 ekor, dengan harimau Sumatera tinggal ±600. Ironis—makhluk yang bisa merobek manusia dalam sekali serang kini justru diburu menuju kepunahan. Namun bagi mereka yang pernah menyaksikan mata kuning itu memandang di kegelapan, satu hal pasti: di perbatasan antara hutan dan pemukiman, manusia bukan selalu pemburu—kadang, kita hanyalah santapan yang sedang menunggu giliran.