Di tengah riuh pergaulan kota-kota besar Indonesia, ada fenomena sosial yang jarang dibicarakan: keunikan perempuan keturunan Arab di tanah air. Mereka tumbuh di persimpangan dua budaya—tradisi leluhur Hadramaut dan realitas modern Nusantara. Hasilnya, lahirlah sosok yang berbeda, kadang memikat, kadang menuai kontroversi.
Di Surabaya, Pekalongan, hingga Jakarta, cewek-cewek Arab sering jadi sorotan. Identitas mereka dijaga ketat, terutama soal nasab dan pernikahan. Dulu, menikah dengan orang luar komunitas dianggap tabu. Kini, batas itu mulai retak. Perempuan Arab Indonesia mulai melawan stigma, membuka ruang memilih pasangan tanpa memandang marga. Inilah pergeseran tradisi yang memicu perdebatan di kalangan keluarga besar mereka.
Dari sisi gaya hidup, mereka kerap tampil dengan busana islami elegan, abaya hitam hingga gamis berpotongan modern, lengkap dengan sentuhan makeup ala Timur Tengah. Namun jangan salah, di balik citra religius itu, banyak dari mereka aktif di media sosial, menjadi ikon fashion muslimah sekaligus influencer yang memengaruhi tren anak muda.
Menariknya, stereotip fisik yang dilekatkan kepada cewek Arab—kulit putih, hidung mancung—tak selalu sesuai kenyataan. Berabad-abad berbaur dengan Jawa, Betawi, hingga Bugis, melahirkan perpaduan unik yang menantang imajinasi lama masyarakat.
Lebih dalam, perempuan Arab di Indonesia juga memegang kendali di dapur. Dari tangan mereka, lahir kebuli, mandhi, hingga sambosa versi lokal yang rasanya membuat ketagihan.
Fenomena ini menunjukkan: cewek Arab di Indonesia bukan sekadar warisan masa lalu, tapi wajah masa depan—membawa tradisi, tapi juga menantang tradisi.