Washington D.C. menyimpan bangunan ikonik yang tak pernah sepi dari sorotan: Gedung Putih. Rumah resmi Presiden Amerika Serikat ini bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga panggung sejarah, misteri, bahkan kisah kelam yang kerap terlupakan. Ironisnya, George Washington—presiden pertama yang memprakarsai pembangunannya—tak pernah sekalipun menghuni gedung itu. Ia keburu wafat pada 1799, setahun sebelum bangunan selesai. Penghuni perdana justru John Adams bersama istrinya, Abigail.
Namun sejarah Gedung Putih tidak berhenti pada kemegahan arsitekturnya. Tahun 1814, saat Perang 1812, tentara Inggris membakar habis istana presiden ini sebagai balasan atas serangan Amerika terhadap Kanada. Hanya tembok luar yang tersisa, sementara isi bangunan luluh lantak. Dari puing inilah, arsitek James Hoban kembali merajut kemegahan simbol negara adidaya itu.
Nama “The White House” juga bukan sejak awal. Dahulu, publik mengenalnya sebagai “President’s House” atau “President’s Palace”. Baru pada 1901, Presiden Theodore Roosevelt mengukuhkan nama yang kini mendunia. Tetapi di balik keanggunannya, fakta pahit tak bisa disembunyikan: pembangunan awal melibatkan buruh imigran dan juga budak Afrika-Amerika—jejak luka peradaban yang jarang dibicarakan.
Kini, Gedung Putih berdiri megah dengan 132 ruangan, 35 kamar mandi, 412 pintu, dan 147 jendela. Lebih dari sekadar tempat kerja, ia juga rumah penuh hiburan: ada lapangan tenis, kolam renang, bioskop, arena bowling, hingga ruang biliar. Tapi jangan salah, di balik keriuhan fasilitas itu, cerita mistis justru bergaung. Abraham Lincoln disebut kerap menampakkan diri di Lincoln Bedroom, sementara arwah Dolley Madison diyakini menghantui Rose Garden.
Untuk menjaga wajah putihnya tetap bersinar, diperlukan 570 galon cat setiap kali pengecatan. Megah, bersejarah, mistis, sekaligus sarat kontroversi—Gedung Putih bukan hanya rumah presiden, melainkan saksi bisu dari kejayaan, luka, dan mitos Amerika.