Presiden Prabowo Subianto kembali membuat kejutan. Baru beberapa bulan menjabat, ia menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan grasi kepada dua tokoh politik ternama yang baru saja dijatuhi hukuman penjara akibat kasus korupsi. Langkah ini langsung disetujui parlemen—yang kini didominasi koalisi pendukungnya—dan dijual ke publik sebagai upaya "rekonsiliasi nasional". Tapi di balik narasi damai itu, banyak yang membaca manuver ini sebagai sinyal berbahaya: politik bisa mengalahkan hukum, dan keadilan bisa dibeli dengan kekuasaan.
Tokoh pertama yang menerima pengampunan adalah Thomas Trikasih Lembong, mantan menteri perdagangan yang kini dikenal sebagai salah satu kritikus paling keras terhadap pemerintah. Ia baru saja divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta karena kasus korupsi impor gula tahun 2015–2016. Vonis belum lama dijatuhkan, publik belum sempat mencerna, tapi palu pengampunan sudah diketuk.
Tokoh kedua lebih kontroversial lagi: Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan—partai pemenang pemilu legislatif 2024 yang secara terang-terangan memilih berada di luar pemerintahan. Hasto divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti ikut membantu praktik suap yang mencoreng institusi hukum. Namun belum genap sebulan ia menjalani masa tahanan, pintu penjara dibuka dari dalam istana.
Langkah Prabowo ini menimbulkan gelombang kritik keras dari publik, aktivis antikorupsi, dan sejumlah akademisi. “Ini bukan soal hak prerogatif, tapi soal pesan. Pesan bahwa korupsi bisa dinegosiasikan, dan bahwa menjadi lawan politik justru bisa menjadi jalan pintas menuju pengampunan,” ujar seorang pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia.
Lebih jauh, pengampunan ini dikhawatirkan akan memperdalam luka sistem hukum yang sudah lama diragukan independensinya. Di mata sebagian masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kehilangan taring, dan pengadilan makin sulit dipercaya. Kini, istana terlihat ikut campur dalam urusan palu hakim.
Koalisi pemerintah saat ini menguasai lebih dari 80% kursi di parlemen. Dalam kondisi seperti ini, oposisi nyaris tak bersuara. Pengampunan terhadap Hasto pun dipandang sebagai strategi halus untuk "menjinakkan" PDI-P—satu-satunya kekuatan politik besar yang belum bergabung ke lingkar kekuasaan.
Alih-alih membangun persatuan, langkah ini justru menimbulkan pertanyaan: Apakah Indonesia sedang menuju demokrasi yang sehat, atau menuju negara di mana loyalitas politik lebih penting daripada integritas hukum?
Di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi, keputusan ini ibarat menusuk jantung demokrasi. Dan Prabowo, dengan segala ketegasannya, kini berada di persimpangan antara menjadi pemimpin rekonsiliatif—atau arsitek kekuasaan yang tak segan membengkokkan hukum demi stabilitas semu.
Satu hal yang jelas: dalam republik ini, garis antara keadilan dan kepentingan makin kabur.