Harga Mobil Listrik Bekas Anjlok, Pedagang Rugi, Konsumen Ketakutan



Pasar mobil listrik bekas di Indonesia sedang berdarah-darah. Harga anjlok, pedagang kelimpungan, konsumen pun ragu melirik. Penyebabnya? Bukan sekadar tren, tapi kombinasi maut antara teknologi yang melesat, kekhawatiran baterai, dan strategi produsen yang mematikan.

Baterai—jantung mobil listrik—menjadi momok terbesar. Komponen ini memakan 30–40 persen harga mobil baru, dan umurnya terbatas. Begitu garansi habis, biaya ganti baterai bisa lebih mahal dari harga jual mobil bekas itu sendiri. Tak heran, calon pembeli memilih mundur sebelum terjebak biaya ratusan juta.

Masalah bertambah saat teknologi berkembang terlalu cepat. Setiap tahun, pabrikan meluncurkan model baru dengan jarak tempuh lebih jauh, fitur canggih, dan efisiensi tinggi. Mobil keluaran dua tahun lalu sudah dianggap “kuno”—mirip ponsel yang kalah gengsi begitu seri baru rilis.

Lalu ada strategi harga produsen. Diskon besar-besaran untuk mobil baru membuat harga bekas terjun bebas. Mengapa membeli unit bekas jika dengan sedikit tambahan sudah bisa membawa pulang model terbaru, lengkap dengan garansi?

Infrastruktur pun belum memihak. SPKLU masih jarang di luar kota besar, bengkel khusus terbatas, teknisi terlatih bisa dihitung dengan jari. Risiko kerepotan mengisi daya dan biaya perbaikan yang mencekik membuat pasar mobil listrik bekas makin sempit.

Hasilnya brutal: Depresiasi mencapai 30–50 persen hanya dalam 1–2 tahun. Beberapa model bahkan turun Rp 10–15 juta per bulan. Pedagang merugi, pemilik lama menangis, sementara pembeli menunggu harga jatuh lebih dalam.

Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi industri otomotif hijau di Tanah Air. Tanpa jaminan baterai jangka panjang, infrastruktur memadai, dan strategi harga yang sehat, pasar mobil listrik bekas akan terus jadi “ladang rugi” bagi siapa saja yang berani masuk.