Langkah kaki politik PDI Perjuangan kembali berderap. Setelah sekian waktu dihantam badai tudingan dan intrik hukum, Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto akhirnya bebas. Bukan sekadar bebas dari ruang tahan, tapi bebas dalam makna politis: kembali bernafas di gelanggang kekuasaan. Bebasnya Hasto menyalakan bara di dapur kekuasaan; tanda bahwa PDI-P belum selesai, belum tunduk, dan belum menyerah.
Di balik senyumnya yang tenang, ada pesan keras yang tersirat: “Kami masih di sini, dan kami akan bangkit.” Para loyalis mulai berdatangan, mengibarkan bendera banteng dengan dada lebih tegak dari biasanya. Kantor DPP di Lenteng Agung tak lagi sepi; ia berubah menjadi pusat denyut kekuatan politik yang siap meledak kapan saja. Ini bukan hanya soal Hasto. Ini tentang harga diri partai, tentang arah masa depan, dan tentang siapa yang benar-benar mengendalikan papan catur kekuasaan pasca-Pemilu.
Isyarat politik bermunculan. Pertemuan tertutup dengan tokoh senior, agenda maraton di rapat-rapat DPD, hingga barisan elite muda yang mulai bicara lantang. Semua ini bukan kebetulan. Bebasnya Hasto bisa jadi sinyal rekonsolidasi internal—atau bahkan manuver balasan terhadap pihak-pihak yang selama ini mencoba menyingkirkan pengaruh PDI-P dari ruang-ruang strategis kekuasaan nasional.
Tapi ini bukan narasi sederhana antara hitam dan putih. Di belakang layar, dinamika faksional belum mati. Ada yang menanti celah. Ada yang siap menikam dari balik senyum. Dan di luar partai, lawan politik tentu tak akan tinggal diam. Mereka paham, bebasnya Hasto bisa menjadi titik balik yang mengguncang peta kekuasaan nasional.
Satu hal pasti: pesta belum usai. PDI-P masih menyimpan peluru, dan Hasto—dengan semua kontroversi dan kharismanya—kembali duduk di pusat komando. Api lama menyala lagi. Dan Jakarta, seperti biasa, kembali jadi panggung pertarungan politik yang tak pernah benar-benar tidur.