Kedung Doro: Surga Kuliner Malam yang Selalu Menyajikan Menu Bernama Macet


Surabaya kembali membuktikan diri sebagai surga kuliner malam, dan Jalan Kedung Doro adalah buktinya. Begitu matahari tenggelam, kawasan ini hidup bagaikan pasar malam raksasa. Dari Bubur Ayam Mang Dudung yang antreannya mengular sejak buka, Tahu Tek legendaris yang nyaris tak pernah kosong, hingga deretan warung penyetan, mie ujung pandang, dan depot lauk rumahan—semuanya menggoda siapa pun yang lewat. Aroma sedap menyeruak di udara, memanggil lidah untuk mencicipi, seolah setiap sudut jalan ini adalah panggung festival rasa.

Namun di balik semaraknya, ada wajah lain Kedung Doro yang tak kalah mencolok: kemacetan parah. Trotoar dan bahu jalan disulap jadi lapak pedagang, sementara kendaraan pengunjung parkir semaunya, memakan badan jalan hingga laju lalu lintas tersendat. Suara klakson bersahut-sahutan, bercampur dengan teriakan tukang parkir dan obrolan pembeli yang asyik menunggu pesanan.

Satpol PP dan Dinas Perhubungan Surabaya sebenarnya tak tinggal diam. Razia dan penertiban dilakukan, kendaraan parkir liar ditarik, bahkan PKL dipindahkan. Tapi ibarat kucing dan tikus, malam hari setelah penertiban, para pedagang kembali menggelar dagangan di tempat semula. Para pemburu kuliner pun tetap datang, seolah kemacetan adalah harga yang wajar dibayar demi seporsi bubur ayam hangat atau tahu tek berlumur petis.

Kedung Doro kini menjadi simbol dilema kota besar: geliat ekonomi rakyat yang menggairahkan versus ketertiban lalu lintas yang terancam. Pemerintah kota menghadapi PR berat, sebab daya tarik kuliner di sini bukan sekadar soal rasa, melainkan budaya malam Surabaya yang sulit dibendung. Satu hal pasti, selama perut orang Surabaya masih doyan jajan malam, Jalan Kedung Doro akan terus ramai—dan kemacetan sepertinya akan tetap jadi menu wajib setiap malamnya.