Ketika publik masih disuguhi euforia demokrasi lima tahunan, diam-diam satu wacana besar sedang disiapkan: pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Di atas kertas, alasan logistik dan efisiensi demokrasi menjadi tameng utama. Namun, jika kita menyingkap lapisan yang lebih dalam, aroma kepentingan politik, manuver oligarki, dan ancaman disintegrasi diam-diam mulai tercium. Ini bukan sekadar soal kotak suara dan waktu pencoblosan—ini soal siapa yang akan memegang kendali atas Indonesia dari pusat hingga pelosok.
Pemisahan ini berarti dua kali masa genting, dua kali potensi kekacauan. Negara akan menghadapi ledakan disinformasi dalam dua gelombang, dua kali polarisasi, dua kali ancaman konflik horizontal. Aparat keamanan, intelijen, dan lembaga siber harus bekerja dua kali lipat, dalam waktu yang terpisah tapi penuh ketegangan.
Namun, lebih dari itu, yang tak disampaikan ke publik adalah: pemisahan ini membuka jalan lebar bagi lahirnya “kerajaan-kerajaan lokal” yang tak lagi bergantung pada pusat. Ketika Pilkada berlangsung terpisah dari Pilpres, aktor-aktor politik lokal punya ruang luas untuk menyusun kekuatan sendiri. Tanpa perlu menunggu restu Jakarta, mereka bisa bermain mata dengan oligarki, mengumpulkan dana kampanye dari pebisnis hitam, dan membentuk loyalitas sendiri di akar rumput.
Bayangkan, kepala daerah yang lahir dari kubu oposisi akan berdiri sejajar, bahkan menantang, pemerintah pusat yang sah. Mereka bisa menyandera kebijakan nasional, memperlambat pembangunan, hingga memainkan isu SARA di daerah-daerah yang rentan. Intelijen menyebut ini sebagai fase “anomali demokrasi”—ketika politik lokal menjelma menjadi senjata tajam yang diarahkan balik ke pusat kekuasaan.
Tak hanya itu. Pemisahan pemilu juga memperpanjang usia hidup hoaks. Jika pemilu serentak saja sudah cukup melumpuhkan nalar publik, bayangkan dua kali masa kampanye, dua kali banjir fitnah, dan dua kali kekacauan opini di ruang digital. Pihak asing pun tak tinggal diam—mereka menyusup melalui algoritma, membentuk gelembung realitas palsu, dan memainkan emosi masyarakat demi kepentingan geopolitik mereka.
Yang paling berbahaya adalah: publik tidak menyadari bahwa stabilitas negara sedang dijadikan taruhan dalam permainan elite.
Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari pemisahan ini? Dan lebih penting lagi—siapa yang akan memikul akibatnya jika semuanya berantakan?
Di tengah gempuran wacana yang manis-manis, mungkin inilah saatnya publik bertanya keras: apakah pemisahan pemilu adalah solusi demokrasi, atau justru pintu masuk menuju fragmentasi republik?
Karena sejarah mencatat: negara yang runtuh, selalu dimulai dari retak yang dianggap remeh.