Jakarta belum sepenuhnya pulih dari gelombang amarah massa di depan Gedung DPR/MPR RI pada Sabtu (30/8/2025) malam. Hingga Minggu pagi, aroma sisa gas air mata masih menusuk hidung dan membuat mata perih bagi siapa pun yang melintas. Warga mengeluhkan sensasi bersin tak tertahankan, seakan racun demokrasi itu belum benar-benar hilang. Bahkan penyanyi Judika pun mengaku terkena imbasnya ketika bermain sepak bola di sekitar lokasi beberapa hari sebelumnya—sebuah ironi, ketika olahraga pun harus tercemar oleh sisa konflik politik.
Pemandangan pascademo kian memprihatinkan. Jalanan di depan DPR dipenuhi sampah, pagar besi jebol, coretan vandalisme bertebaran, hingga tiang listrik yang hangus terbakar. Gedung wakil rakyat yang seharusnya menjadi simbol kehormatan bangsa justru tampak seperti arena kerusuhan. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Damkar) DKI Jakarta terpaksa menurunkan armada mobil pemadam, menyemprotkan air untuk menetralisir sisa gas air mata. Namun, bau menyengat dan rasa perih masih membekas.
Demonstrasi memang usai, tetapi jejaknya masih nyata. Pertanyaannya: siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan, kekacauan, dan trauma yang ditinggalkan? Rakyat sudah cukup lelah melihat gedung parlemen berkali-kali jadi panggung pertarungan yang menyisakan luka bagi publik.