Sri Mulyani di Persimpangan: Penjaga Anggaran atau Operator Politik?


Sri Mulyani kembali jadi sorotan. Sang Menteri Keuangan yang selama ini dielu-elukan sebagai teknokrat andal, kini dihantam kritik karena dianggap lebih tunduk pada kepentingan politik ketimbang kalkulasi akal sehat. Program gizi gratis yang digeber pemerintah disebut sebagai bom waktu anggaran, namun Sri Mulyani tetap merestui meski defisit negara makin menganga. Ironis, sosok yang dulu dikenal sebagai penjaga disiplin fiskal kini justru menoleransi kebijakan populis.

Meski begitu, di panggung internasional ia masih tampil garang. Sri Mulyani memastikan Indonesia tidak akan memberlakukan pajak baru pada 2026. Janji ini sontak melegakan kalangan pengusaha, namun menimbulkan pertanyaan: dari mana tambahan pendapatan negara akan ditutup? Jawabannya, reformasi perpajakan yang sudah lama dijanjikan tapi tak kunjung rampung.

Sementara itu, ancaman tarif dagang Amerika Serikat menghantui. Sri Mulyani mengaku pertumbuhan ekonomi bisa terpangkas 0,5 poin persentase, sebuah pukulan telak di tengah target ambisius 5,8%. Penundaan 90 hari dari Washington hanya memberi napas sementara. Pertanyaannya, cukupkah waktu itu untuk menyiapkan tameng?

Kini, publik menunggu. Apakah Sri Mulyani masih “Ibu Penjaga Anggaran” yang dulu disegani, atau telah berubah menjadi sekadar operator politik yang sibuk merawat citra kekuasaan?