Tunjungan: Panggung Romansa, Panggung Perlawanan


Jalan Tunjungan, jantung sejarah Surabaya, kini kembali hidup. Bukan sekadar tempat melintas, tapi destinasi yang menantang imajinasi. Trotoar yang dulu sunyi kini dipadati anak muda berburu swafoto, bersanding dengan bangunan kolonial yang berdiri angkuh seakan menolak punah.

Cahaya lampu klasik membias di jendela tua Hotel Majapahit—saksi bisu perobekan bendera penjajah—sementara denting gitar akustik dari seniman jalanan menggema di antara mural dan plakat sejarah. Pemerintah Kota menyulap kawasan ini menjadi “Tunjungan Romansa”, tapi romansa itu lebih dari sekadar nama. Ini adalah pertarungan melawan pelupaan.

Di bawah langit malam, aroma kopi robusta dari kedai kaki lima bersaing dengan harum roti bakar dari cafĂ© bergaya art deco. Anak-anak nongkrong, influencer beraksi, dan turis terkesima—semuanya larut dalam atmosfer yang memadukan nostalgia dan gaya hidup urban.

Namun di balik wajah barunya, Tunjungan menyimpan ironi: warisan sejarah dipoles demi estetika, ruang publik dijejali kepentingan komersial. Apakah ini bentuk cinta pada kota atau sekadar kosmetika?

Tunjungan bukan hanya jalan. Ia panggung. Dan seperti panggung yang baik, ia menantang kita semua: apakah kita penonton, atau justru bagian dari lakon kota yang tak pernah tidur?