Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, publik makin sulit membedakan mana fakta, mana manipulasi. Hoaks dan provokasi tak hanya menyebar cepat, tapi juga sengaja dirancang untuk memicu emosi: marah, takut, bahkan dendam. Hasilnya jelas: masyarakat terpecah, suasana gaduh, dan rakyat sendiri yang dirugikan.
Namun kini ada jurus praktis yang bisa jadi “tameng” menghadapi banjir informasi palsu: Checklist Anti-Hoaks & Anti-Provokasi. Langkah-langkah sederhana ini bisa dipakai siapa saja, setiap hari, agar tidak mudah terhasut.
Pertama, jangan berhenti di judul. Banyak hoaks sengaja dibuat dengan headline bombastis, padahal isi tak relevan. Kedua, periksa tanggal, lokasi, dan sumber. Tak jarang video lama daur ulang disulap seolah kejadian baru. Ketiga, bandingkan dengan 2–3 media kredibel. Kalau hanya muncul di akun anonim atau grup WhatsApp, patut curiga.
Waspadai juga gaya bahasa. Jika penuh huruf besar, tanda seru, atau narasi penuh kebencian, hampir pasti tujuannya memancing emosi. Saat ingin membagikan informasi, tanyakan pada diri sendiri: apa manfaatnya? Jika hanya membuat orang marah atau takut, hentikan.
Isu politik lebih rawan lagi. Bedakan tuntutan konkret rakyat—harga sembako, upah, pajak—dengan narasi provokatif yang menjerumuskan: “turunkan ini, hancurkan itu.” Ingat, kerusuhan hanya mengorbankan rakyat kecil, sementara aktor politik tertentu bisa bertepuk tangan di balik layar.
Bagi yang turun langsung ke jalan, jangan asal ikut kerumunan. Pilih kelompok yang damai, siapkan masker dan air minum, serta selalu punya rencana mundur jika situasi berubah rusuh.
Terakhir, jangan biarkan kesehatan mental terkuras. Batasi screen time, berdiskusi dengan orang yang terpercaya, dan fokus pada tujuan: mencari kebenaran, bukan menebar ketakutan.
Intinya, hoaks dan provokasi hanya bisa hidup jika kita mau menyebarkannya. Dengan disiplin menjalankan checklist ini, masyarakat bisa jadi filter informasi yang cerdas—bukan korban propaganda murahan.