Jakarta kembali jadi panggung politik yang panas pada Agustus 2025. Demonstrasi besar yang awalnya dipicu kemarahan publik terhadap elit politik dan respons aparat kepolisian, kini menyeret nama-nama besar ke pusaran tudingan. Investigasi terbaru majalah Tempo dalam program Bocor Alus Politik membuka tabir yang lebih gelap dari sekadar aksi massa.
Kasus kematian pengemudi ojek online, Afan Kurniawan, menjadi titik api. Ia tewas setelah bentrokan dengan aparat. Narasi kemarahan publik kemudian membesar, mengalir ke jalanan, dan menjelma jadi kerumunan yang tak terkendali. Namun, laporan investigasi menemukan bahwa chaos itu bukan sekadar ledakan spontan. Ada pola, ada perencanaan.
Tim investigasi mengungkap ciri-ciri pelaku penjarahan yang mirip: jaket hoodie, masker putih, hingga pergerakan sistematis. Lebih mencurigakan lagi, CCTV di sejumlah titik sengaja dirusak sebelum massa datang. Di lapangan, kode-kode rahasia dipakai untuk memicu kerusuhan. Ini bukan massa liar—ini terorganisir.
Lalu muncul dugaan keterlibatan aparat. Nama Badan Intelijen Strategis (BAIS) ikut tercoreng. Sejumlah tentara terbukti membawa kartu anggota ketika tertangkap di lokasi. Tak berhenti di situ, beberapa laporan menyebut massa dibayar untuk turun ke jalan. Siapa yang membayar? Benang merahnya mengarah pada kelompok sipil dengan koneksi langsung ke elit politik.
Presiden Prabowo pun terseret dalam dilema. Pada awalnya, ia bahkan tak mendapatkan informasi yang jelas. Kabinetnya terpecah. Sebagian mendorong langkah keras: pemberlakuan darurat militer. Namun rencana itu dibatalkan setelah Kapolri menyerahkan data lapangan. Prabowo akhirnya menuding pihak-pihak yang tidak senang dengan agenda “pembersihan korupsi” yang ia gencarkan.
Pertanyaan kunci menggantung di udara: apakah kerusuhan ini sengaja dipelihara untuk melemahkan pemerintah? Ataukah justru pemerintah sendiri yang gagal mengendalikan aparatnya? Fakta bahwa ada tentara di lapangan, ada massa bayaran, dan ada pola yang tak wajar, membuka ruang spekulasi yang sulit ditepis.
Jakarta, seperti dalam sejarah panjangnya, kembali jadi ajang perebutan kendali. Di tengah kemarahan rakyat yang otentik, aroma rekayasa politik tercium pekat. Investigasi Tempo hanya menguak sebagian lapisan. Sisanya, masih tersimpan rapat di ruang-ruang gelap kekuasaan.
Apapun jawabannya, satu hal pasti: darah Afan Kurniawan telah menjadi simbol. Simbol bahwa di balik jargon “stabilitas” dan “pemberantasan korupsi,” ada tarung besar yang tak kasat mata—dan rakyat kecil selalu jadi korban pertama.